Anis Matta dan Arah Baru Indonesia - Seni dan Desain: Kajian dan Pengetahuan

Anis Matta dan Arah Baru Indonesia

Share:
Nama Anis Matta terdengar asing di telinga pendengar yang belum tahu. Dan tentu sayup-sayup bagi yang pernah mendengar. Kemudian begitu jelas bagi mereka yang mengenal sosoknya.


Anis Matta adalah pria kelahiran Bone Sulawesi Selatan, 7 Desember 1968. Tokoh nasional yang berkiprah sebagai pemikir dan penggerak nasional dan internasional. Lulusan ilmu syariah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) tahun 1992 ini pernah mengenyam pendidikan politik di LEMHANAS dan ACYPL.



Di antara banyak hasil pemikirannya, yang paling membekas bagi banyak orang adalah pemikiran jangka panjangnya mengenai tafsir gelombang ketiga Indonesia. Seperti yang dikatakan Anis Matta, "Generasi gelombang ketiga adalah orang-orang muda, terpelajar, berpenghasilan bagus, terkoneksi dengan baik, dan native democracy (warga negara asli demokrasi) maka generasi gelombang ketiga harus mencari pemimpin yang bisa mewakili pikiran, budaya, dan kepribadian generasi gelombang ketiga."



Pemikirannya mengenai generasi gelombang ketiga dituturkannya dengan baik dalam bukunya Gelombang Ketiga IndonesiaMenurut Anis Matta, sejarah Indonesia dibagi ke dalam beberapa gelombang yaitu gelombang pertama, kedua dan ketiga.



Gelombang pertama yaitu gelombang menjadi Indonesia, mengapa menjadi Indonesia? Anis Matta merenungkan bahwa ada struktur politik yang berbeda-beda di Nusantara dahulu tapi kecil namun sangat banyak, itulah yang disebut kerajaan-kerjaan. Dari abad 16 sampai 18 ternyata struktur politik kecil itu tidak mampu mengimbangi kekuatan besar yang disebut penjajahan. Di samping struktur politik, ada juga struktur sosial yang bekerja mengimbangi penjajahan tadi. Anis Matta menyebut struktur sosial ini sebagai etnis-etnis yang ada di Indonesia.



Dari struktur politik dan struktur sosial yang ada ini mulai terlihat kesamaan pemikiran, bahwa struktur politik dan struktur sosial ini tidak lagi relevan sebagai modul eksistensial di tengah penjajahan, maka struktur sosial ini menemukan suatu rumpun yang lebih besar dari etnis-etnis kecil yang ada yang kita sebut bangsa Indonesia. Dan struktur sosial ini membutuhkan struktur politik baru dengan melebur kerajaan-kerajaan kecil tadi menjadi rumpun yang lebih besar yang kita sebut republik Indonesia. Peralihan struktur itu dimulai dari awal abad ke-20 yang ditandai dengan pergerakan-pergerakan nasional, puncak kesadaran nasional dari pergerakan itu ditandai dengan sumpah pemuda. Indonesia utuh sebagai bangsa pada peringatan Sumpah Pemuda, dan utuh sebagai sebuah negara saat dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan.



Anis Matta menyebut bahwa menjadi bangsa Indonesia adalah takdir, sedangkan beragama adalah pilihan pribadi. Lanjut Anis Matta, kita ingin menjadikan pilihan-pilihan pribadi ini untuk sebuah takdir yang lebih besar yang disebut takdir menjadi bangsa Indonesia.



Pada Gelombang Kedua yang ditandai rentang waktu orde lama, orde baru dan orde reformasi. Persoalan bangsa 70 tahun terakhir perlu membangun negara bangsa modern. Negara bangsa modern bertolok kepada konstitusi, identitas dan sistem. Namun di dalam upaya membangun itu mengalami dialektika antara sistem dan output. Bicara sistem yaitu bicara demokrasi, bicara output yaitu bicara kesejahteraan. Jadi menurut Anis Matta, terjadi dialektika antara demokrasi dan kesejahteraan. Sepanjang orde lama, orde baru dan orde reformasi bentuk sistem diujicobakan sedemikian rupa sebagai suatu eksperimen untuk menemukan keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan.



Semua yang terjadi antara orde lama dan orde baru adalah penyimpangan antara demokrasi dan kesejahteraan. Secara relatif Anis Matta mengakui adanya kekuatan demokrasi di era orde lama namun kesejahteraan dipermasalahkan. Dan karena itu pula orde baru hadir sebagai antitesa dari orde lama. Prinsip orde baru mengatakan, untuk meningkatkan kesejahteraan maka demokrasi harus direduksi (dikurangi). Pada keyataannya kesejahteraan terjadi, namun prinsip dasar manusia jika kenyang tetap perlu bicara dan jika lapar maka bicaranya juga kotor, cuma jika kenyang dan tidak boleh bicara maka seperti burung dalam sangkar.



Datanglah orde reformasi mencegah burung dalam sangkar tadi. Secara garis besar relatif ditemukan keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan. Semua pembicaraan tentang ketimpangan yang terjadi adalah output dari sistem. Sistem yang menciptakan output tadi. Itulah yang ditemukan oleh reformasi. begitulah gambaran sederhana gelombang kedua.



Setelah ini kita ke mana? Anis Matta menjawabnya melalui Gelombang Ketiga. Anis Matta mengajak kita untuk berbicara dalam satuan waktu yang lebih besar. Masalah besarnya adalah krisis narasi dan krisis kepemimpinan. Yang diperlukan ke depan adalah arah baru dan wajah baru bagi Indonesia. Anis Matta menggambarkan arah baru Indonesia ke dalam profil negeri Sulaiman. Dalam cerita Nabi Sulaiman, ringkasan negara disebut memiliki setidaknya agama, pengetahuan, kekuatan ekonomi dan kekuatan militer. Anis Matta melihat negeri Sulaiman sebagai parameter negara modern.



Olehnya, konflik antara Islam dan negara harus diakhiri. Kemudian yang diperlukan yaitu sumber pemikiran baru untuk menemukan sistem baru yang bermuara pada cara baru mengelola negara. Semua persoalan seperti ketimpangan, tirani dan lain-lain adalah output dari sistem maka cara baru mengelola negara itu menjadi penting.



Maka kita perlu beralih ke Gelombang Ketiga dengan mengelola segenap kemampuan dengan maksimal untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan dunia yang baru. Maka sekali lagi kata anis Matta, "generasi gelombang ketiga adalah orang-orang muda, terpelajar, berpenghasilan bagus, terkoneksi dengan baik, dan native democracy (warga negara asli demokrasi) maka generasi gelombang ketiga harus mencari pemimpin yang bisa mewakili pikiran, budaya, dan kepribadian generasi gelombang ketiga."



Sebagai penutup, "kita memiliki terlalu banyak tapi mencapai terlalu sedikit, langit kita terlalu tinggi tapi kita terbang terlalu rendah," begitu kata Anis Matta.